Syekh Ali bin Muhammad Amin bin Athiyyah Ar-Rahbini. Beliau adalah
salah satu ulama Makkah. Saya pernah membaca biografi beliau dalam
sebuah kitab “Tarajim” yang saya pinjam dari Syekh Ruwaid bin Hasan
Ar-Rahbini ketika beliau bertandang ke Malang, namun sayang sekali saya
tidak sempat meng-copy kitab itu, sayapun lupa sebagian besar isinya.
Kejadian itu memang sudah cukup lama, yaitu sekitar tahun 1992 dimana
pada saat itu saya baru berusia 17 tahun.
Adapun putra beliau yag bernama Syekh Muhammad bin Ali, maka Syekh
Umar Abdul Jabbar, dalam kitab “tarajim”nya, menulis bahwa beliau
lahir pada tahun 1286 H (+ 1871) dan wafat tahun 1351 H (+ 1934). Maka
Syekh Muhammad bin Ali lebih muda 36 tahun dari Syekh Kholil. Beliau
masuk dalam jajaran ulama Makkah abad ke-13, sezaman dengan Sayyid
Abbas bin Abdul Aziziz Al-Maliki (kakek Sayyid Muhammad bin Alawi bin
Abbas Al-Maliki). Menurut Syekh Umar Abdul Jabbar, Syekh Muhammad bin
Ali memiliki Majlis ta’lim di Babul Umroh Masjidil Haram. Bisa jadi,
Syekh Muhamad menggatikan majlis ayah beliau, sebagaimana adat ulama
Makkah apabila meneruskan profesi orang tuanya. Syekh Ali dan Syekh
Muhammad masyhur dengan keahlian yang menonjol dalam bidang qira’at
(riwayat bacaan Al-Qura’an). Mereka hafal Al-Qur’an dengan tujuh
qira’at (riwayat).
Adapun Syekh Ali Ar-Rahbini, Di akhir hayat beliau tertimpa sakit
hingga mengalami kebutaan, sehingga beliaupun berhenti mengajar di
Masjidil Haram. Namun Syekh Kholil tidak berhenti belajar kepada Syekh
Ali setelah beliau buta, karena Syekh Kholil memohon izin untuk terus
belajar di rumah beliau dan beliaupun berkenan. Syekh Kholil sangat
menghormati dan meyakini Syekh Ali, sehingga ketika Syekh Ali meyuruh
Syekh Kholil pulang, Syekh Kholil mematuhi perintah itu walau sebenarnya
beliau masih merasa kurang ilmu dan masih ingin menambah ilmu. Berkat
kepatuhan itu Syekh Kholil diberkati oleh Allah SWT.
Pada tahun 1997 saya bersilaturrahim kepada Syekh Muhammad Thayyib
bin Muhammad bin Ali Ar-Rahbini di Makkah, cucu Syekh Ali Ar-Rahbini,
waktu itu beliau telah berusia 95 tahun dan saya baru berusia 22 tahun.
Kebetulan, ibu saya adalah cucu Syekh Ali dari jalur Syekh Ali bin
Muhammad bin Ali Ar-Rahbini, maka saya pernah “buyut paman” pada Syekh
Muhammad Thayyib. Diantara riwayat yang saya ambil dari beliau adalah
bahwa Syekh Ali Ar-Rahbini memiliki karya tulis tentang Al-Qur’an, namun
sampai saat itu manuskripnya hilang entah kemana.
Mengenai nisbat Ar-Rahbini, Rahbin adalah nama sebuah kampung di
dekat kota Samannud, Mesir. Syekh Ali memang keturunan Mesir. Beliau
yang pertama wafat di Makkah. Ayah beliau, yaitu Syekh Muhammad Amin
wafat di Istambul, Turki. Sedang kakek beliau, yaitu Syekh Athiyyah,
dan beberapa generasi sebelumnya tinggal di kampung Rahbin itu.
Keluarga Ar-Rahbini yang di Indonesia memegang silsilah hanya sampai
Athiyyah. Menurut Syekh Ruwaid bin Hasan bin Ali Ar-Rahbini, cucu
beliau yang tinggal di Jiddah, nasab Al-Rahbini bersambung pada
Sayyidina Utsman bin Affan.
Setelah Syekh Kholil pulang ke Indonesia, beliau tidak putus
hubungan dengan Syekh Ali. Setelah Syekh Ali meninggal, ternyata putra
beliau, Syekh Muhammad, juga menonjol kelimannya dan mengajar di
Masjidil Haram. maka keponakan Syekh Kholilpun, yaitu Kiai Muntaha yang
kelak kemudian menjadi menantu beliau, belajar pada Syekh Muhammad bin
Ali Ar-Rahbini.
Hubungan Syekh Kholil dengan keluarga Ar-Rahbini tidak berhenti
sampai pada Syekh Muhammad, melainkan berlangsung sampai pada Syekh Ali
bin Muhammad bin Ali Ar-Rahbini, karena cucu guru beliau itu akhirnya
datang ke Indonesia. Cerita kedatangan Syekh Ali cukup menarik sehingga
layak untuk dimuat sebagai salah satu cerita karomah Syekh Kholil.
Pada suatu pagi setelah shalat shubuh, seperti biasa Syekh Kholil
mengajar santri di mushalla. Tiba-tiba Syekh Kholil menutup kitab dan
berkata: “Anak-anak, pengajian kali ini singkat saja, sekarang kalian
langsung membersihkan halaman dan ruang tamu, karena sebentar lagi ada
tamu agung, yaitu cucu dari guruku, Syekh Ali bin Muhammad bin Ali
Ar-Rahbini.
Setelah semua lingkungan pondok bersih, maka datanglah Syekh Ali
bin Muhammad bin Ali Ar-Rahbini. Syekh Kholil sudah tahu bakal
kedatangan tamu jauh, padahal waktu itu belum ada telpon.
Setelah Syekh Ali datang, maka Syekh Kholil menciumi Syekh Ali
mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Begitu cinta dan hormatnya
beliau terhadap Syekh Ali sebagai cucu dari guru beliau. Kemudian Syekh
Kholil menyuruh santri untuk mengambil tiga gelas diatas nampan, gelas
yang pertama diisi air putih, gelas kedua diisi susu, gelas ketiga
diisi kopi. Kemudian Syekh Kholil berkata pada santri-santri: “Apabila
Syekh Ali minum susu, insyaallah beliau tidak lama di Indonesia.
Apabila Syekh Ali minum air putih, insyaallah beliau akan tinggal lama
di Indonesia dan akan pulang ke Makkah. Dan apabila Syekh Ali minum
kopi, insyaallah beliau terus tinggal di Indonesia.” Mendengar ucapan
Syekh Kholil tersebut, para santri menunggu saatnya Syekh Ali memilih
diantara tiga gelas itu. Ternyata Syekh Ali memilih dan meminum kopi,
padahal kopi Madura (Indoesia) lain dengan kopi Arab. Kontan saja para
santri bersorak gembira. Syekh Ali hanya tersenyum saja karena tidak
mengerti apa yang terjadi, beliau pikir sorak gembira itu adalah bagian
dari adat menyambut tamu.
Syekh Ali datang ke Indonesia pada tahun 1921, beberapa tahun
sebelum Syekh Kholil wafat. Waktu itu Syekh Ali masih berusia 18 tahun
dan masih lajang, namun sudah hafal Al-Qur’an dan perawakannya tinggi
besar dengan wajah putih berbulu lebat. Dengan ilmu dan perawakannya
itu beliau tidak nampak seperti anak muda, melainkan sudah berwibawa.
Kendatipun Syekh Kholil sangat menghormati Syekh Ali, namun Syekh
Ali juga tidak kalah menghormati Syekh Kholil, bahkan Syekh Ali
kemudian berguru pada Syekh Kholil. Tidak sampai di situ, melainkan
Syekh Ali menjadi sangat ta’zhim dan fanatik terhadap Syekh Kholil.
Beliaupun menikahkan salah satu cucu beliau dengan seorang cucu Syekh
Kholil. Ketika lahir anak pertama pasangan sang Kiai cucu Syekh Kholil
dan sang Nyai cucu Syekh Ali, Syekh Ali memberi bayi itu Nama “Kholil”.
Semula sang Kiai cucu Syekh Kholil itu keberatan, karena di keluarga
beliau sudah banyak yang bernama “Kholil”. Menanggapi keberatan itu
kemudian Syekh Ali marah dan berkata: “Biarpun sudah ada seribu
‘Kholil’, anakmu tetap harus diberi nama ‘Kholil’. Seribu ‘Kholil’
seribu barokah!” Akhirnya anak itupun kemudian diberi nama “Kholil”.
Itu adalah sebagian cerita antara Syekh Kholil dengan keluarga
Ar-Rahbini. Adapun Syekh Ali Ar-Rahbini sendiri kemudian tinggal di
Gondanglegi Malang. Beliau dikenal sebagai ulama yang hafal Al-Qur’an
dan fasih, suaranya yang lantang dan berwibawa membuat jamaah jum’at
betah mendengar khutbah beliau walaupun mereka tidak mengerti khutbah
beliau yang berbahasa Arab. Beliau juga dikenal wali, banyak cerita
kezuhudan dan karomah beliau yang tentu terlalu panjang untuk
dimasukkan dalam bab ini.
Beliau menikah dengan beberapa wanita Jawa dan Madura, dari lima
orang istri beliau mempunyai 24 putra-putri. Beberapa putri beliau
dinikahkan dengan Kiai-kiai Madura, yaitu Nyai Lathifah dengan Kiai
Shonhaji Jazuli (ulama besar Pamekasan); adiknya, yaitu Nyai Aminah
dengan adik Kiai Shonhaji, yaitu Kiai Mahalli; Nyai Sarah dengan Kiai
Asim Luk-guluk (ulama besar Sumenep); Nyai Qudsiyah dengan Kiai Abdul
Aziz Ombhul (ulama besar Sampang). Adapun dari putra-putra beliau ada
dua orang yang meneruskan perjuangan beliau, yaitu Kiai Fauzi di
Gondanglegi, Malang dan Kiai Khairuman yang mendirikan pondok pesantren
di Pontianak, yaitu Pesantren Darul Ulum yang merupakan pesantren
terbesar dan terkenal di Kalimantan Barat.
semuga bermanfaat ya kawan.dan semuga pembuat artikel ini semakin semangat
BalasHapusMantappp MasyaAllah
BalasHapussaya bangga menjadi murid beliau maka saya nisbat kan nama anak saya kepada syekh athiyyah ar rahbini...dg harapan semua ilmua yg ada dr syeh athiyyah sampai sluuruh kturunan beliau ...bisa di yransfer ke anak saya amin ya rabbal alamin....bangga menjadi alumni darul ulum kalimantan barat
BalasHapusAmin...
BalasHapus